
Harus diakui, dan merupakan kewajiban setiap partai untuk memromosikan kadernya sendiri. Namun adalah sebuah strategi politik yang jitu bila sebuah partai juga membuka diri kepada publik demi mobilitas suara dan dukungan. Maka tidak ada salahnya bila PA memanggil semua putra-putri terbaik Aceh untuk mengikuti audisi kontestasi pemilu dengan membawa logo PA. Sebagai reserve dan demi stabilitas partai, PA bisa saja mengunci dengan persyaratan bahwa salah satu -antara Aceh-1 atau Aceh-2-harus merupakan kader internal; atau katakanlah Aceh-1 dikunci untuk kader internal sementara Aceh-2 dibuka untuk putra-putri terbaik Aceh diluar pengurus/kader PA.
Sangat masuk akal mendengarkan alasan kenapa PA kali ini harus lebih berhati-hati. PA merasa trauma dengan ulah Muhammad Nazar yang di tengah perjalanan kepemimpinan ingin membangun hegemoninya sendiri. Kenakalan Nazar ini dimungkinkan karena sikap optimisme-nya tentang keberadaan aktivis SIRA di tubuh KPA/PA. Nazar merasa bahwa SIRA adalah tulang punggungnya partai, maka bila SIRA berdiri sendiri mereka akan mendapat benefit tersendiri, salah satunya adalah keleluasaan dalam melakukan artikulasi kepentingan, yang independen dan tidak berada di bawah bayang-bayang KPA/PA. Dalam konteks demokrasi, hal itu sah-sah saja. Sayangnya optimisme ini tidak bersambut-gayung.
Kekhawatiran ini beralasan, namun yang perlu dicatat, tidak semua politisi akan seperti itu, sebab variannya akan sangat tergantung kepada konteks yang ada. Selain itu tidak semua konteks akan feasible, toh secara intenal PA juga memiliki banyak pakar dan konsultan yang bisa menyusun strategi-strategi untuk mengikat loyalitas kader, anggota, atau orang yang dimandatkan oleh partai.
Bola Panas ALA-ABAS
Kesilapan kedua adalah nama-nama yang akan diusung juga tidak mencerminkan kolektivitas regional. Pada saat Aceh diguncang oleh badai vulkanik keterbelahan daerah yang mencuat secara eksplisit, partai tidak mampu mengkonstruksikan satu cita-cita baru yang visioner. Bukan berita baru tentang perlunya akomodasi politik bagi putra-putri terbaik yang berasal dari Tengah-Tenggara dan Barat Selatan, namun petinggi PA mengganggap isu ini sepi-sepi saja. Lihatlah dari nama-nama yang sudah dilepas ke publik, adakah diantara nama-nama itu sosok-sosok yang bisa dianggap merepresentasikan kedua regional di atas.
Diskriminasi telah menjadi bagian dari alam ketidaksadaran politik kita (political unconsciousness). Akan sangat arif bila petinggi PA juga membuat listing nama-nama yang potensial untuk dijagokan, yang bisa dianggap merupakan representasi ALA dan ABAS, baru kemudian melakukan road-show pemetaan calon atau survey popularitas. Akan sangat maju PA, sebagai sebuah partai politik, bila proses pencalonan dilakukan dengan cara mendengar aspirasi dari bawah, termasuk juga melakukan listing nama-nama yang juga berdasarkan aspirasi arus bawah. Asumsinya bila ternyata masyarakat di ALA dan ABAS pun tidak menjagokan nama-nama orangnya sendiri, maka ada justifikasi bahwa sebenarnya kandidasi berdasarkan regionalitas memang tidak signifikan.
Bila PA turun ke dearah hanya untuk membawa nama-nama yang sudah ada, maka tidak ada hal yang baru disini. Hal ini juga dilakukan oleh partai-partai politik lain. Lalu di mana letak progresif-nya PA? Faktanya rakyat hanya diberikan nama-nama tanpa ada ruang bagi mereka untuk menyatakan sreg atau tidaknya dengan nama-nama yang ada, atau tanpa ada ruang untuk menyatakan apakah boleh menjagokan nama-nama yang lain?
Terkait dengan potensi instabilitas ALA-ABAS, temuan penelitian Aceh Institute (Zain & Razikin, 2008) lebih jauh menegaskan bahwa tuntutan pemekaran provinsi merupakan pertemuan kepentingan antara politisi di Jakarta dan politisi di Aceh. Menuduh Jakarta yang mengobok-obok Aceh dengan isu pemekaran juga kurang tepat, karena bara diskriminasi juga kita hidupkan di Aceh, sementara Jakarta hanya membantu meniupkannya saja. Ada anak tiri dan anak kandung di rumah kita. Diskriminasi yang terjadi telah memasuki kisi-kisi kesadaran, yang mencakup sisi sosial, budaya dan partisipasi politik.
ALA-ABAS adalah bola panas, dan PA sebagai kekuatan hegemonik baru adalah instrumen yang paling mungkin mendinginkannya. Bila tidak, maka dinamika pembangunan pasca-perdamaian di Aceh akan berjalan lamban. Hal ini belum termasuk berita tentang Irwandi yang tidak lagi diusung oleh Partai Aceh [Waspada Online, 28/10/10] yang tentu akan meninggalkan konsekuensi tersendiri. Sebab perselingkuhan terbuka yang dilakukan Irwandi dengan petinggi-petinggi ALA-seperti yang bisa kita cermati dari foto-foto yang banyak beredar di wall-wall Facebook-juga tidak akan bergerak di ruang vacuum. Fenomena ini akan menjadi warna politik tersendiri yang bisa dengan mudah kita tebak, walau kita belum tahu kemana ending-nya.
Dengan senantiasa ber-husnuddhaan kepada PA, kita percaya bahwa PA akan mempertimbangkan pencalonan putra-putri terbaik Aceh apapun latar belakang dan afiliasi politiknya, selain itu PA juga akan senantiasa memperhatikan keterwakilan regional demi menciptakan pemerintah Aceh yang Satu dan Stabil. Toward New-Aceh Society.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar